Edisi 3
Lanjutan Berita

Home

Daftar Isi
Redaksi
Berita Utama
Lanjutan Berita
Artikel 1
Artikel 2
Interview
Liputan Khusus
Kesehatan
Humor

Keterlibatan saya dalam masalah Evi-Pengakuan Miftahus Surur

 

Waktu itu tanggal 04 Agustus 2001 saya ditilpun oleh Pak Purnomo (Kasubid Konsuler). Beliau meminta saya untuk membawa paspor Evi beserta foto anaknya untuk dicap di KBRI Ankara. Ketika saya dalam perjalanan menuju hotel dimana Evi dan bapaknya yang datang ke Turki ditemani oleh seorang pengacara dan seorang kawannya, saya mendapatkan info baru mengenai perubahan rencana, bahwa paspor tidak perlu dibawa ke Ankara. Stempel cukup bisa diperoleh dari kantor konsulat Indonesia di Istanbul.

Dengan perubahan rencana tersebut saya langsung meneruskan perjalanan ke hotel untuk mengambil paspor dan rencananya, besoknya saya akan bawa ke konsulat. Di hotel saya bertemu dengan Evi, suami dan bapaknya. Ternyata mereka hanya mempunyai foto anaknya yang hitam putih sedangkan yang diperlukan foto berwarna. Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke foto studio. Setelah itu suaminya menyerahkan ke saya dan mempercayakan kepada saya untuk mendapatkan stempel di paspor dari konsulat.

Paginya saya pergi ke konsulat dan pasporpun distempel oleh Bapak Konsul Kehormatan, Mr. Semih Tezcan. Ketika waktu proses keberangkatan ke airport, keadaan  semakin menegang. Suami Evi yang bernama Zaki tiba2 menyandera anaknya sendiri dengan tuntutan uang tebusan dari pak Hassan. Kejadian ini membuat suasana hotel yang tadinya tenang menjadi ramai karena si anak (Katrina) menangis ketakutan. Katrina mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia sebagai ungkapan kebencian kepada bapaknya. Karena tidak kuasa menahan tangisan Katrina, Zaki melepaskannya. Katrinapun langsung lari ke kakeknya (pak Hasan). Ternyata siasat Zaki tidak selesai di situ. Zaki langsung merubah sasaran dengan menyandera tas-tas milik Evi. A

khirnya pak Hassan memutuskan untuk memberikan 3000 USD sebagai uang tebusan. Setelah menerima uang tersebut suasana kembali normal malahan Zaki pun bisa bersikap biasa dengan tetap memberikan senyumnya kepada kami yang sedang menunggu di lobi di saat-saat penyanderaan. Kami akhirnya memutuskan pergi ke airpot dengan taksi. Atas permintaan pak Hassan, saya berada satu taksi dengan Evi, Zaki dan pak Hassan yg masih selalu dipegang oleh cucunya. Di dalam taksi pak Hassan mengatakan kepada saya bahwa dia tidak lagi percaya kepada Zaki dan meminta saya untuk mengurus segalanya di Airpot. Sesampai di Airport, atas permintaan pak Hassan, saya kumpulkan semua paspor dari mereka yang akan berangkat. Keadaan pun berjalan lancar dan tidak ada masalah . Namun tiba-tiba Zaki mendekati counter dan mencoba mengambil paspornya Evi, dan saya katakan kepadanya bahwa segalanya sudah beres, tidak ada masalah. Melihat gelagat tersebut pak Hassan mengulangi permintaannya kepada saya untuk selalu waspada dan tetap menguruskan segala sesuatunya sampai bisa lewat imigrasi. Saya pun akhirnya memutuskan untuk mendahulukan Evi sebelum yang lainnya dengan pertimbangan seandainya ada masalah yang dipandang serius, maka rombongan tetap akan bisa menunggu.  

Di sinilah awal masalah besar dimulai.  Pada mulanya  Evi beserta anaknya dikenai denda overstay selama 5 bulan. Masalah ini dapat pun terselesaikan di ruangan khusus setelah membayar 331 USD sebagai denda pelanggaran izin tinggal (overstay) untuk Evi dan Katrina selama 5 bulan. Pada saat kembali ke immigrasi, polisi kembali menanyakan tentang bekas stampel yang terlihat di bawah foto anak dalam paspor Evi. Sebetulnya polisi masih bersikap ramah, tapi tiba-tiba Zaki langsung mengatakan bahwa stampel itu palsu dan menuduh saya sebagai pemalsunya. Akhirnya saya ditahan oleh polisi bersama Evi dengan tuduhan memalsukan stampel dalam paspor. Kami diperiksa dalam ruangan yang terpisah. Saya terpaksa dibugili dalam pemeriksaan dan diinterogasi. Dalam setiap pemeriksaan yang dilakukan beberapa kali di ruangan yang berbeda-beda saya selalu meminta kebijaksanaan para polisi untuk langsung menanyakan keabsahan stampel kepada pihak KBRI atau Konsulat, namun sikap mereka yang selalu menuduh saya terasa aneh. Ada diantara mereka yang bilang bahwa Airport Istanbul telah dilengkapi dengan sistem baru dengan kecanggihan teknologinya dan telah membuktikan palsunya stampel yg ada di paspor. Dalam hati saya betul-betul kesal dengan tingkah mereka yang tidak mau mendengarkan penjelasan-penjelasan saya. Mereka hanya ingin marah dan berteriak.

Akhirnya untuk alasan penyelidikan, saya dan Evi dikumpulkan kembali dan dibawa ke kantor kepolisian di dekat Airport. Untuk alasan penyelidikan pula polisi minta saya menunjukkan paspor saya. Seperti biasa saya cukup hanya membawa identitas pelajar dan menyimpan paspor dan residence permit di rumah untuk menjaga keamanan di luar rumah. Dengan jasa pak Kemal dan Mas Agung, saya mendapatkan paspor saya yang kemudian diperiksa oleh polisi. Kami terpaksa menginap di sel. Di dalam sel kami tidak diberi makan, selama di dalam sel tidak seorangpun mendapatkan makanan kecuali memesan makanan, dan itu pun kalau punya uang. Untunglah ada beberapa uang di dalam saku sehingga bisa mengisi perut yang sudah kosong dari siang hari. Meski ada beberapa kursi yang bisa dipakai untuk tidur, tapi kebanyakan orang-orang yang berada di sel menghabiskan waktu malamnya untuk diam merenung memikirkan nasib esoknya. Saya pun akhirnya ikut trend dalam sel. Di benak saya  terpikir bahwa tidak setiap maksud dari perbuatan baik akan langsung dibalas dengan yang baik pula, dan keadaan ini menjadi contohnya. Tapi saya pun masih  berharap bahwa ini bukanlah balasan tapi ujian pada kesabaran saya. Dan ternyata esoknya saya dipanggil ke ruang kepala polisi dan di sana sudah ada Bapak Konsul, Mr. Semih Tezcan yang ditemani oleh dua orang yang salah satunya Mr. Adnan. Mr Adnan mengatakan bahwa pada malam sebelumnya dirinya telah ditilpun pak Rossalis (Kasubid Ekonomi) untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalah tersebut. Bapak Konsul menjelaskan kejadian yang sedang terjadi sebenarnya kepada kepala polisi dan menjamin bahwa saya tidak bersalah sambil mengatakan bahwa saya adalah salah satu mahasiswanya di Universitas Bogazici.

Selang beberapa menit kemudian pihak KBRI datang ke Istanbul, diwakili oleh bapak Purnomo ditemani anggota PPI, saudara Sulama dan seorang pengacara KBRI, Mr. Tugay. Setelah diurus saya pun dinyatakan bebas. Sedangkan Evi masih dalam pemeriksaan dan harus menghadapi pengadilan dengan tuduhan melarikan anak yang dituduhkan oleh Zaki. Proses pengadilan berjalan tertutup sehingga yang tidak terlibat dalam perkara tersebut tidak bisa menyaksikannya. Proses pengadilan berlangsung relatif cepet tetapi kita harus menunggu seharian menanti antrean orang-orang lain yang perkaranya diadili pada hari itu di halaman pengadilan sambil menyusun strategi menghadapi kemungkinan terburuk. Salah satunya adalah dengan memperingati pengacara Zaki yang kelihatan masih junior (berpakaian kaos oblong dan bersepatu kets) bahwa, sebelum pengacara Zaki menerima uang dari Zaki, Ia harus lebih dulu mengetahui bahwa Zaki adalah pembohong besar.

Setelah akhirnya hakim memutuskan bahwa Evi tidak bersalah, Zaki kontan mencak-mencak. Walaupun begitu  paspornya masih perlu diperiksa dan hal tersebut akan  diputuskan nanti di bulan Novermber. Evi akhirnya dibawa oleh polisi Airport untuk laporan hasil keputusan hakim. Ternyata apa yang tidak kami bayangkan  terjadi,  polisi Airpot menyatakan bahwa Evi tidak memegang paspor yang sah dan harus ditahan. Terpaksalah Evi ditahan semalam lagi di kantor polisi Airport. Mengingat dia sedang hamil dan juga anaknya yang masih kecil, Evi diberi keringanan untuk tidak ditempatkan di sel tapi di ruang tamu dan juga diizinkan ditemani oleh anggota PPI, saudari Ratih. Keputusan ini tidak hanya mengejutkan kami sebagai orang asing melainkan pengacara Mr. Tugay sendiri menjadi lemas dan akhirnya hanya  duduk-duduk di pinggir pagar kantor kepolisian bersama-sama kami setelah beliau  sempat adu argumen dengan kepala kepolisian Airport.

Lucunya Zaki masih sempat-sempatnya menilpun pak Hasan untuk menyatakan simpati terhadap musibah yang menimpa Evi dan menanyakan keberadaannya. Lebih lucu lagi Zaki meminta mertuanya untuk memodali Zaki berbisnis Handphone.  

Hari berikutnya Evi dibawa ke kantor polisi pusat di Istanbul di bagian orang asing. Dan masih harus menginap di sana. Kali ini dia harus tinggal di sel dan tidak lagi bisa ditemani. Setelah tiga malam dalam tahanan akhirnya polisi memutuskan untuk mendeportasikan Evi.

Dengan pengawalan polisi dan juga telah saya sediakan mobil khusus untuk menuju Airpot, akhirnya Evi bisa kembali ke tanah airnya. Kini dia bisa merasakan bahwa bangsanya sendiri lebih bisa melindunginya daripada bangsa suaminya.  

Apa yang telah saya alami dengan keterlibatan saya dalam masalah ini sehingga harus menginap di sel saya terima sebagai proses mencari hikmah-hikmah dalam perjalanan kehidupan. Saya pun mengatakan kepada diri saya sendiri untuk tidak kapok berbuat baik meski saya sempat merasa tersinggung berat ketika ada sebagian orang mengatakan bahwa saya ditahan karena mengganggu istri orang. Tapi saya mencoba kembali kepada diri saya sendiri dan menganggap bahwa itu adalah gosip. If our tounge turned into a knife, it would cut our lips. Semoga kita bisa berhati-hati.

Dilarang mengkopi atau menyalin berita tanpa izin dari Redaksi Buletin PPI.

Miftahus Surur

Mahasiswa Sejarah, Universitas Bogazici